Waktu saya kecil di Batang, ibu saya sering membelikan beberapa makanan khas pagi yaitu nasi megono, lodhéh cècèk, gethuk iris dan gethuk mawur yang dijual oleh tetangga.
Tiap makanan dibungkus dengan daun pisang dengan cara yang berbeda-beda. Berikut adalah istilah yang digunakan untuk membedakan cara membungkusnya:
Diconthong (1): biasanya untuk gethuk mawur, bisa conthong tutup atau conthong buka.
Diwungkus (2): biasanya untuk megono, nasi megono, gethuk iris atau ketan srundeng tanpa kinco/juruh yang akan dibawa pulang untuk dimakan di rumah.
Dipincuk (3): biasanya untuk makanan berair yang akan segera dimakan.
Ditum (5): biasanya untuk nasi dengan lodéh cècèk atau makanan manis yang mengandung cairan kinco/juruh yang akan dibawa pulang untuk dimakan di rumah. Teknik membungkus ini juga digunakan untuk salah satu makanan khas kliwonan yaitu 'klepon kinco'.
Untuk membungkus dengan daun tersebut kita memerlukan 'biting' alias lidi bambu dengan ujung runcing (6), berfungsi seperti stapler. Untuk jenis makanan tertentu kita memerlukan 'suru' (4) yaitu sendok dari sobekan daun panjang dengan lebar sekitar 3-5 cm untuk mengambil suapan makanan dari bungkusnya.
Entah apakah istilah-istilah yang sama juga dipakai di kampung lain. Untuk membantu imajinasi Anda, lihat gambar sesuai petunjuk nomor. Mohon maaf contoh tersebut mungkin kurang bagus karena saya sendiri jarang mempraktekkan teknis membungkus dengan daun. Untuk keterangan mengenai makanan yang saya maksud ada di sini KLIK.
Sebagian orang mungkin tidak menganggap penting postingan ini, tapi saya merasa perlu menulisnya untuk rekaman sejarah dan sebagai pengingat. Saya amati penjual zaman sekarang lebih suka memakai kertas pembungkus makanan warna coklat yang berlapis plastik. Padahal pembungkus model itu berpotensi menjadi sampah non organik yang merusak lingkungan sementara daun pisang cepat terurai kembali menjadi tanah.
Sabtu, 18 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kata Kunci
alas roban
(5)
alun-alun
(6)
bahasa
(3)
bahurekso
(1)
bandar
(2)
batang
(161)
batang.org
(6)
batik
(5)
bawang
(1)
bioskop
(1)
blado
(2)
blog
(2)
buka puasa
(1)
bupati
(2)
central java
(1)
darul ulum
(1)
dayung
(1)
dialek
(3)
dracik
(1)
facebook
(4)
festival
(1)
forum
(2)
foto
(8)
hotel
(1)
info
(1)
jalan
(1)
java
(1)
jawa
(3)
kabupaten
(101)
kadilangu
(1)
kalisalak
(1)
kampung
(1)
kampus
(1)
kantor
(2)
kauman
(1)
kecamatan
(5)
kedungdowo
(1)
kegiatan
(1)
kehidupan
(1)
kenangan
(2)
kereta api
(3)
khas
(2)
kliwonan
(7)
komunitas
(2)
kota
(18)
kramat
(2)
ktp
(1)
kuliner
(9)
lingkungan
(2)
lokasi
(1)
lomba
(2)
lumba-lumba
(3)
madrasah
(1)
maghribi
(1)
makam
(2)
makanan
(3)
map
(2)
masjid
(1)
mbangun
(2)
mbatang
(1)
megono
(3)
melati
(1)
metal
(2)
mustika
(1)
nelayan
(3)
pagilaran
(3)
pahlawan
(1)
pantai
(10)
pantura
(4)
pasar
(2)
pawai
(2)
pekalongan
(7)
pemandian
(1)
perkebunan
(1)
pesanggrahan
(1)
peta
(2)
petilasan
(1)
radio
(2)
ramadhan
(2)
rel
(1)
resmi
(1)
rspd
(2)
rumah
(1)
sambong
(2)
search
(1)
sego
(2)
sejarah
(5)
sekolah arab
(1)
semarang
(2)
sendang sari
(1)
senggol
(1)
sigandu
(5)
situs
(4)
srikandi
(1)
sungai
(2)
taman
(1)
teh
(1)
terminal pekalongan
(1)
tersono
(1)
thr
(1)
tol
(2)
tulis
(2)
twitter
(3)
ujungnegoro
(6)
website
(4)
wikipedia
(1)
wilayah
(2)
wisata
(10)
wonobodro
(1)
wonotunggal
(2)
2 komentar:
anak-anak sekarang harus diberitahu tentang warisan leluhur kita, karena dibalik semua itu tersirat filosofi kehidupan.
Excellent nemen.
Posting Komentar