Pada setiap bulan puasa di sekitar awal tahun 1980-an, pengurus Masjid Jami' (sekarang Masjid Agung) selalu membunyikan sejenis petasan besar di tengah alun-alun pada saat maghrib tiba sebagai tanda buka puasa.
Bunyi petasan ini cukup keras dan terdengar sampai beberapa kilometer dengan kilatan merah di langit. Petasan ini dilengkapi semacam mekanisme roket yang membuat petasan ini dapat meluncur dan meledak di udara.
Masyarakat setempat menyebutnya "Dhul" seperti bunyinya bila meledak. Istilah "Dhul" ini dikenal pula di kota-kota lain seperti misalnya Yogyakarta. Konon petasan ini dibagikan oleh instansi pemerintah terkaitke daerah-daerah sebagai bagian dari pelayanan kepada umat muslim yang menjalankan puasa.
Selain "Dhul" pihak mesjid juga dulu selalu membunyikan petasan renteng di seperti di Betawi tepat di depan masjid pada saat sesudah shalat Idul Fitri.
Sejak segala jenis bahan peledak dinyatakan terlarang kedua tradisi ini dihentikan dan diganti bunyi sirine yang disebut 'ngung'. "Wis ngung durung?" pertanyaan anak-anak kala itu. Sirine ini tentunya tidak terdengar sekeras petasan 'dhul'.
Sent from my BlackBerry® smartphone
Tidak ada komentar:
Posting Komentar